Publikterkini.com - Polisi menangkap 21 orang yang menjadi tersangka terkait kasus sengketa tanah di Desa Golo Mori, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kapolres Manggarai Barat, AKBP Bambang Hari Wibowo, menjelaskan perihal penangkapan 21 orang tersangka kasus sengketa tanah di Desa Golo Mori, Jumat (2/7/2021) lalu.
Dia menyebutkan, penangkapan dilakukan untuk mencegah jatuhnya korban jiwa dan memicu konflik lebih luas.
"Kita mengambil langkah cepat mengamankan mereka sebelum terjadi bentrok," kata Wibowo dalam rilis yang diterima Kompas.com, Senin (6/9/2021) malam.
Wibowo menerangkan, para tersangka ditangkap saat tengah melakukan aktivitas pembersihan lahan yang dipersengketakan.
Aktivitas tersebut meresahkan pihak lawan. Saat penangkapan, sebut dia, aparat Polres Manggarai Barat menyita 15 bilah parang.
Wibowo mengaku telah mempelajari riwayat kasus serupa sering kali berujung bentrok dengan warga lokal.
"Kami tidak ingin bentrokan bisa memicu konflik lebih luas," ungkapnya.
"Bila kami tidak cepat menangani ini, bentrok antar kampung bisa meluas menjadi pertikaian yang membawa-bawa agama. Ini sangat berbahaya," ujarnya.
Dia mengungkapkan sudah berdiskusi dengan tokoh agama Romo Silvi Mongko. Dari diskusi tersebut, pihaknya mendapat keterangan bahwa warga Golo Mori sudah melakukan persiapan untuk mengusir secara paksa 21 orang yang menjadi lawannya.
Pihaknya mempelajari menjadi buruh perkebunan adalah modus yang berulang kali terjadi dan akhirnya berujung bentrokan.
"Saya sebagai Kapolres tentu tidak ingin terjadi korban jiwa," ungkapnya.
Dalam sengketa tanah tersebut, 3 orang warga Golo Mori Manggarai Barat membawa masuk 18 orang dari luar daerah yakni dari Desa Popo, Kecamatan Satar Mese Utara dan Desa Dimpong, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai.
Jarak antara dua daerah tersebut dengan Golo Mori sekitar 6 hingga 7 jam perjalanan darat menggunakan kendaraan roda empat.
Ia melanjutkan, 3 warga Golo Mori dan 18 warga dari Kabupaten Manggarai tersebut kemudian ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.
"3 orang Golo Mori diduga sebagai aktor intelektual dan 18 warga Manggarai terbukti membawa senjata tajam dan menduduki lahan sengketa," jelasnya.
Kedatangan 18 orang dari Kabupaten Manggarai, kata dia, dikhawatirkan memunculkan bentrokan dengan warga Golo Mori.
Sebab, warga setempat sudah resah dengan kedatangan 18 warga asal Kabupaten Manggarai yang membawa parang tersebut.
Sementara Kuasa hukum para tahanan, Irenius Suryako, menilai penahanan yang dilakukan oleh penyidik Polres Manggarai Barat hanya berdasarkan asumsi belaka termasuk cerita yang tanpa ada alasan dan bukti yang cukup.
Menurut Iren, kebiasaan orang NTT atau Flores umumnya bekerja di ladang selalu membawa benda tajam seperti parang tofa bagian dari alat penunjang kerja di kebun atau membuka ladang baru. Iren merinci kronologi.
Pada Jumat 2 Juli 2021 sekitar pukul 16.00 Wita, Kapolres dan Wakapolres Manggarai Barat tiba di Nggoer Desa Golo Mori. Setibanya di rumah Hironimus Alis, rombongan langsung menanyakan warga dari Kampung Popo dan Dimpong.
Mereka sangat terkejut melihat sikap polisi yang sangat reaktif dan menyuruh mereka berbaris. Hironimus Alis sedang berada di kebun miliknya yang berjarak kurang lebih 10 menit dari kediamannya. Seorang polisi yang bertugas kamtibmas di Desa Golo Mori diperintah Kapolres untuk menjemput Hironimus.
"Dia terkejut karena tiba tiba dijemput. Para tersangka disuruh berbaris setelah itu disuruh naik mobil keranjang polisi menuju Polres Labuan Bajo. Mereka dituduh mengganggu ketertiban umum sebagaimana UU Darurat RI Nomor 12 Tahun 1951 Pasal 2 ayat 1," beber Irenius.
Ia mengaku dari kronologi dan peristiwa yang ada di lapangan tidak ada pengancaman apalagi pembunuhan terhadap pihak lain dari 21 orang itu.
Iren mendesak agar penyidik Polres Manggarai Barat segera melimpahkan kasus tersebut untuk disidangkan di pengadilan sehingga bisa jelas tahu duduk perkara dan persoalan tersebut bisa terungkap kebenarannya.