PEKANBARU II Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Pusat Solidaritas Pers Indonesia (DPP SPI), Sabam Tanjung, menegaskan bahwa Peraturan Wali Kota Pekanbaru Nomor 48 Tahun 2025 tentang tata cara pemilihan RT dan RW merupakan langkah mundur demokrasi dan berpotensi membajak kedaulatan warga di tingkat paling bawah.
Menurut Sabam, kebijakan tersebut secara terang-terangan menggeser posisi RT dan RW dari representasi masyarakat menjadi instrumen kekuasaan birokrasi, yang dikemas dalam bahasa regulasi.
“RT dan RW itu lahir dari kehendak warga, bukan hasil seleksi administrasi ala birokrasi. Ketika calon RT dan RW diwajibkan mengikuti fit and proper test, itu bukan lagi demokrasi, tapi penjinakan partisipasi warga,” tegas Sabam.
Ia menyebut, jika pemerintah daerah menganggap RT dan RW harus diseleksi seperti pejabat struktural, maka sesungguhnya pemerintah sedang tidak percaya pada rakyatnya sendiri.
“Ini berbahaya. Negara tidak boleh curiga kepada warganya. RT dan RW bukan ASN, bukan pejabat politik, dan bukan alat kekuasaan. Mereka adalah suara masyarakat bukan perpanjangan tangan wali kota,” ujarnya.
Sabam juga menilai Perwako tersebut cacat secara normatif karena berpotensi bertentangan dengan Perda Kota Pekanbaru Nomor 12 Tahun 2002 serta Permendagri Nomor 18 Tahun 2018. Dalam sistem hukum, katanya, peraturan kepala daerah tidak boleh mengubah substansi hak demokratis warga.
“Kalau Perwako bisa mengatur siapa yang layak dan tidak layak dipilih warga, lalu untuk apa pemilihan? Itu bukan demokrasi, itu kontrol kekuasaan,” kata Sabam lantang.
Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa pemaksaan kebijakan ini justru akan menciptakan konflik sosial horizontal, merusak legitimasi pemerintahan, serta menimbulkan preseden buruk bagi demokrasi lokal di Indonesia.
“Pemerintah seharusnya memfasilitasi, bukan mendikte. Kalau suara RT dan RW diabaikan, maka pemerintah sedang menggali jurang ketidakpercayaan dengan rakyatnya sendiri,” ujarnya.
Sabam menilai langkah DPRD Pekanbaru yang membuka opsi penggunaan hak angket merupakan respons konstitusional yang sah dan patut didukung apabila pemerintah daerah tetap bersikukuh.
“Jika aspirasi warga tidak didengar, maka DPRD wajib menggunakan seluruh kewenangan pengawasannya. Demokrasi tidak boleh dikorbankan atas nama ketertiban administrasi,” tegasnya.
Ia menutup pernyataannya dengan peringatan keras kepada Pemko Pekanbaru agar tidak memaksakan kebijakan yang ditolak publik luas.
“RT dan RW adalah benteng terakhir demokrasi warga. Jika benteng ini diruntuhkan, maka pemerintah sendiri yang sedang merusak legitimasi kekuasaannya,” pungkas Sabam.***(Rls/Red*)