Kanal

Kunker Komite I DPD RI ke Provinsi Riau Mencatat Sejumlah Persoalan Konflik Pertanahan di Riau

PUBLIKTERKINI.COM,Pekanbaru - Komite I DPD RI telah melakukan Kunjungan Kerja ke Provinsi Riau. Konflik tanah ulayat, tanah eks HGU, tanah eks Duta Palma, perubahan kawasan hutan, dan konflik batas wilayah administrasi, menjadi beberapa persoalan pertanahan yang berhasil dicatatkan Komite I DPD RI dalam kegiatan Kunjungan Kerja (kunker) tersebut. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan berbagai permasalahan Reforma Agraria yang terjadi di Daerah (inventarisasi) untuk kemudian menjadi dasar pengawasan atas pelaksanaan Reforma Agraria, Senin 26 September 2022.

 Pertemuan dilaksanakan di ruang rapat Komplek Gubernuran Provinsi Riau. Delegasi Komite I dipimpin oleh Senator Darmansyah Husein selaku Wakil Ketua Komite I, didampingi oleh Senator Misharti (Riau) selaku tuan rumah; Senator M. Syukur (Jambi); Ajieb Padindang (Sulsel); Andi Nirwana S. (Sultra); Senator Arya Wedakarna (Bali); Cherish Harriette Mokoagow (Sulut); dan Ajbar (Sulbar). Disambut oleh Asisten I Setda Provinsi Riau Masrul Kasmy. Hadir juga sejumlah Forkompimda: Kajati Riau, Plt. Kanwil ATR/BPN Riau, Danrem Riau, Polda Riau, Perwakilan Rektor Universitas di Riau, Tokoh Lembaga Adat Melayu Riau, dan sejumlah Organisasi Perangkat Daerah Riau.

 Dalam sambutannya, Senator Darmasyah menyatakan sejumlah persoalan pertanahan yang terjadi antara lain: realisasi redistribusi tanah, penatausahaan tanah, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, penyelesaian ganti rugi dan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Darmansyah juga menegaskan bahwa penyelesaian konflik pertanahan sebagai salah satu indikator keberhasilan Reforma Agraria. Konflik sendiri dapat terjadi karena persoalan administrasi, sertifikat ganda, adanya mafia tanah, dan sebagainya. Bahwa pergantian Menteri merupakan sinyal untuk memastikan keberhasilan reforma agrarian, dan dalam Raker dengan Komite I, Menteri ATR /Kepala BPN menyatakan bahwa konflik pertanahan menjadi prioritas untuk diselesaikan termasuk pemberantasan mafia tanah.

 Sementara sejumlah tokoh masyarakat, melalui Ketua Harian Lembaga Adat Melayu Riau menyampaikan perlunya perhatian yang seirus dari Pemerintah dan Parlemen mengenai persoalan tanah ulayat yang terjadi di Riau, dimana hak-hak tanah ulayat belum dapat dinikmati masyarakat adat, seperi halnya aset eks Dulta Palma yang merupakan sebagain tanah ulayat atau adat, “asetnya kalau bisa dikembalikan ke masyarakat adat untuk dapat dimanfaatkan masyarakat”.

 Tanah-tanah bekas HGU juga haruslah dikembalikan ke masyarakat adat yang selama ini memang bagian dari tanah adat, kasus tanah Sinama Nenek seluas 4000 ha yang dimanfaatkan oleh PTPN V. Bahwa 400-500 ribu masyarakat miskin yang ada di Riau berasal dari masyarakat adat padahal mereka memiliki tanah ulayat yang tidak dapat dinikmati. Masyarakat Adat meminta Pemerintah untuk mempertimbangkan “sertifikat komunal” bagi masyarakat adat sebagai bentuk recoqnisi (pengakuan) dan pelindungan terhadap hak-hak masyarakat adat.

 Sementara Plt. Kanwil ATR/BPN menjelaskan sejumlah kendala yang dihadapi dalam melakukan Pendaftaran Tanah Sertifikat Lengkap (PTSL), antara lain: 1) perubahan fungsi Tata Ruang dari non kawasan hutan menjadi kawasan hutan; 2) bidang tanah terletak di areal gambut (PIPPIB) sehingga tidak dapat dilakukan pemiliharaan data; 3) masyarakat enggan melakukan PTSL karena adanya biaya BPHTB; 4) Hambatan dalam pencapaian target SHAT karena budaya dan adanya kesulitan mengumpulkan identitas pemilik tanah; dan sebagainya.

 Misharti sebagai Senator dari Provinsi Riau menyampaikan bahwa permasalahan agraria ini merupakan permasalahan yang kompleks dan berharap dengan pertemuan pihak-pihak terkait ini agar Pemerintah nantinya mampu memberi rasa berkeadilan bagi masyarakat. Adapun konflik agraria yang terjadi Provinsi Riau ada 3 jenis yaitu antara masyarakat dengan masyarakat, lalu masyarakat dengan korporasi,dan ketiga antara korporasi dengan korporasi (perusahaan). Hal ini terjadi diakibatkan belum ditemukan titik jelas batas RTRW yang secara detail antara batas tanah korporasi dengan tanah ulayat.

“Permasalahan tanah ulayat ini meupakan masalah di hampir semua daerah sehingga perlu menjadi perhatian bersama baik oleh Pemerintah Pusat dan Daerah untuk menuntaskan masalah ini agar tidak berlarut-larut.” Ujarnya.

“Saat rapat dengan Menteri ATR/BPN nanti di Pusat akan kami sampaikan masukan dan aspirasi dari BPN Prvovinsi dan tokoh masyarakat terkait agraria dan juga tentang persoalan konflik tanah ulayat yang belum ditemukan titik penyelesaiannya agar Reforma Agaria yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi ini bisa berjalan dengan baik dengan tidak mengesampingkan hak-hak ulayat. Terkait penyelesaian persoalan agraria ini harus ada sinergi 4 pilar : 1. BPN; 2. Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota); 3. Aparat penegak hokum; dan 4. Badan Peradilan. Pemerintah dan pilar lainnya harus bersinergi agar konflik ini bisa ditemukan penyelesaian yang terbaik dan memberi rasa berkeadilan bagi masyarakat adat.” Pungkas Misharti.

 Kunker yang berlangsung serius dan penuh keakraban ini berakhir pada pukul 13.00 WIB dengan suatu kesepahaman bahwa konflik pertanahan harus segera dituntaskan khususnya yang terdampak bagi masyarakat adat di Provinsi Riau.

Ikuti Terus Riaupower

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER