Kanal

Kisah Sukses Harsono Penjual Cilok, Sudah Punya 3 Apartemen dan 13 Rumah Kontrakan

Publikterkini.com - Merangkak dari bawah dan kini menuai sukses. Hal ini dirasakan Harsono yang sukses jualan cilok di Jember dengan omset jutaan rupiah per bulan.

Kesuksesan dirasakan pelaku usaha Cilok Edy bukan diraih dengan mudah. Jatuh bangun dan dengan modal sangat terbatas kini Harsono dan istrinya Siti Fatimah bisa memiliki 3 apartemen dan 13 buah kontarakan.

Sukses diraih pengusaha di Jember ini menjual cilok di berbagai tempat.

Penjual cilok ini kerap ditemui di berbagai titik di kawasan kampus, seperti di depan kantor DPRD Jember, di depan kampus Universitas Jember dan Universitas Muhamadiyah Jember.

Tak hanya anak-anak yang menyukai Cilok Edy, namun juga mahasiswa hingga orang tua. Bahkan, Cilok Edy sempat memiliki beberapa cabang di Probolinggo dan Bondowoso.

“Dulu di Jember saja ada sepuluh rombong, sekarang tinggal empat rombong,” kata Harsono, pemiliki cilok Edy Dikutip dari Kompas.com Sabtu (19/6/2021).

Dalam sehari, Cilok Edy bisa menghasilkan Rp 5.000.000 dari empat rombong itu. Sebelum pandemi Covid-19, dia mampu meraup omset hingga Rp 8.000.000 per hari. Harsono memiliki karyawan sepuluh orang.

Lima orang berjualan langsung menggunakan rombong. Sedangkan lima orang lainnya bagian meracik dan memasak cilok.

Harsono, pemilik cilok Edy saat berada di depan rombong cilok Edy di Kelurahan Tegalgede Kecamatan Sumbersarai Kabupaten Jember.

Penjual cilok ini kerap ditemui di berbagai titik di kawasan kampus, seperti di depan kantor DPRD Jember, di depan kampus Universitas Jember dan Universitas Muhamadiyah Jember.

Tak hanya anak-anak yang menyukai Cilok Edy, namun juga mahasiswa hingga orang tua. Bahkan, Cilok Edy sempat memiliki beberapa cabang di Probolinggo dan Bondowoso.

Kisah awal berjualan cilok

Hasil dari berbisnis cilok, Harsono bisa membeli tiga apartemen, 13 rumah kontrakan hingga sawah. Bahkan, dia sudah menunaikan ibadah haji pada 2019 lalu.

Produk cilok Edy di Kabupaten Jember yang dikembangkan oleh Harsono sejak tahun 1997 sampai sekarang .

Cilok Edy merupakan usaha yang dilakukan oleh pasangan suami istri Harsono dan Siti Fatimah. Warga Kelurahan Tegalgede Kecamatan Sumbersari itu memulai usaha sejak tahun 1997 lalu.

Sebelum menekuni bisnis ini, Harsono merupakan tukang ojek dengan sepeda hasil kredit. Namun karena tidak mampu membayar, sepeda itu diambil dan uang mukanya dikembalikan.

“Akhirnya uang muka itu dibelikan becak,” ucap dia.

Penghasilan dari becak tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selanjutnya, dia dia juga sebagai honorer petugas kebersihan Dinas Pekerjaan Umum dan Cipta Karya Jember.

Ide awal berjualan cilok dari dari ayahnya yang juga berjualan cilok di Bali saat itu. Sementara di Jember, masih belum ada cilok yang bahannya terbuat dari daging, yang ada hanya dari tepung. Akhirnya, Harsono menangkap peluang itu dan mulai berjualan cilok.

Ketika ayahnya pulang dari Bali tahun 1997. Dia bersama istrinya menirukan bisnis bapaknya, yakni menjual cilok dari bahan daging sapi dicampur tepung.

“Modal awal dulu paling hanya Rp 20.000,” ungkap dia.

Uang itu untuk membeli daging lalu diolah oleh istrinya menjadi cilok. Kemudian, Harsono memasarkan cilok ke berbagai tempat.

Harsono berangkat pukul 06.30 WIB untuk berjualan cilok secara keliling. Terutama di sejumlah sekolah yang ada di Kecamatan Sumbersari hingga Kecamatan Kaliwates.

“Berangkat pagi, pulangnya habis isya’,” aku dia.

Pertama kali berjualan, cilok tidak terjual habis. Bahkan, ketika menjual ke sekolah, wali murid tidak memperbolehkan anaknya membeli cilok karena merupakan jenis makanan baru.

Semangat Harsono mulai berkurang karena penghasilan tak sesuai dengan harapan. Dia kembali memilih jadi tukang becak selama dua bulan. Namun sang istri memintanya untuk berjualan cilok lagi.

“Waktu itu, penghasilan becak hanya Rp 5000. Sedangkan berjualan cilok Rp 10 ribu,” tambah Siti Fatimah, istri dari Harsono.

Karena mendapat dorongan dari istri untuk bersabar, Harsono kembali menjual cilok secara keliling.

Perjuangan Harsono berjualan cilok secara keliling selama lima tahun membuahkan hasil. Nama Cilok Edy mulai dikenal masyarakat. Wali murid yang awalnya tak mau membeli, kini mulai ketagihan karena memiliki rasa yang berbeda.

Harsono semakin semangat, setiap pagi dia menjual cilok di SD, kemudian siang hari jam 13.00 berjualan di SMP, lalu sore hari berkeliling di daerah perkotaan, seperti alun-alun Jember. Selama lima tahun berkeliling, permintaan Cilok Edy semakin banyak.

Dulu, daging sapi yang digiling untuk bahan cilok hanya sekitar 1,5 kilogram. Namun sekarang sudah sampai 25 kilogram daging setiap harinya.

“Tapi sekarang dicampur dengan daging ayam, karena daging sapi cukup mahal,” papar dia.

Sekitar tahun 2000, Harsono memasang telepon rumah. Ketika cilok yang dijual sudah habis, Harsono tinggal menelpon istrinya untuk membuat lagi.

“Tahun 2000-an itu mulai dikenal, hingga ambil tenaga orang lain karena sudah tidak nutut,” terang dia.

Nama Cilok Edy mulai naik daun di kalangan warga perkotaan. Nama itu dipilih karena mudah diingat, meskipun tidak ada sangkut paut dengan dirinya.

Saat itu, Harsono hanya memiliki satu rombong keliling untuk menjual cilok. Dirinya ingin menambah armada, namun tidak memiliki modal.

Akhirnya dia memberanikan diri mengajukan kredit uang ke perbankan senilai Rp 15 juta.

Uang itu digunakan untuk membeli rombong Cilok Edy hingga memiliki lima rombong. Uang itu terus diputar untuk nenambah rombong samapi memiliki sepuluh rombong.

Tak hanya itu, permintaan untuk membuka cabang Cilok Edy terus berdatangan dari Probolinggo, Bondowoso dan Lumajang.

Hanya saja, cabang yang ada di luar kota tidak bertahan lama karena ada kecurangan dari pegawainya.

“Buka di luar kota, cuma penjaganya curang,” ujar dia.

Akhirnya ditarik dan tidak ada cabang di luar kota lagi.

Harsono mengatakan tantangan yang dihadapi yakni semakin banyak penjual cilok. Untuk itu, dia semakin meningkatkan cita rasa cilok.

Siti Fatimah selalu mengawasi proses pembuatan cilok agar mutunya tidak berubah.

Mulai dari rasa, besar kecilnya cilok dan lainnya. Selain itu, juga mengatur keuangan yang diperoleh dari dari penjualan cilok.

“Pandemi Covid-19 juga pengaruh, pembeli yang mayoritas mahasiswa jadi berkurang,” jelas dia.

 

Ikuti Terus Riaupower

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER