Facebook dan TikTok Blokir Konten-konten Terkait Taliban

Rabu, 18 Agustus 2021

Publikterkini.com - Kelompok Taliban telah resmi menguasai pemerintahan Afghanistan sejak Minggu (15/8). Beberapa perusahaan media sosial seperti Facebook, YouTube, hingga TikTok, kompak memblokir semua konten terkait kelompok itu.

Hanya Twitter yang memilik sikap berbeda. Facebook misalnya, tidak akan mencabut larangan konten yang mempromosikan Taliban meski kelompok islam konservatif itu menguasai Afghanistan. Mengutip CNBC, Facebook masih menganggap Taliban sebagai organisasi teroris.

Facebook mengatakan pihaknya telah melarang dan memblokir konten-konten terkait Taliban, terutama yang mendukung kelompok tersebut dari platformnya. Media sosial itu mengatakan Taliban, yang kini kembali berkuasa atas Afghanistan, adalah organisasi teroris.

Untuk melakukan pemblokiran, Facebook memiliki sebuah tim ahli Afghanistan yang memantau dan menghapus konten-konten terkait Taliban. Facebook tak ingin media sosialnya digunakan sebagai alat propaganda kelompok bersenjata tersebut.

"Taliban adalah organisasi teroris menurut hukum Amerika Serikat dan kami menolak mereka atas dasar kebijakan larangan terhadap organisasi berbahaya," jelas Facebook seperti dilansir dari BBC Selasa 917/8/2021).

Dengan demikian, imbuh Facebook, smua akun yang dikelola Taliban akan dihapus. Facebook juga menghapus unggahan yang memuja dan mendukung Taliban, serta postingan yang mewakili organisasi itu.

Tim Facebook yang akan mengawasi konten-konten terkait Taliban terdiri dari jajaran ahli yang memahami budaya serta konteks lokal Afghanistan, bisa berbahasa Dari dan Pashto.

Selain itu Facebook juga mengatakan hingga saat ini pihaknya belum membuat keputusan untuk mengakui siapa pemerintah yang sah di Afghanistan. Alih-alih Facebook akan mengikuti otoritas masyarakat internasional untuk menentukan pihak berwenang di Afghanistan.

Kebijakan Facebook atas Taliban ini akan berlaku juga di aplikasi-aplikasi lainnya seperti WhatsApp dan Instagram. Taliban, dalam beberapa laporan, disebutkan menggunakan WhatsApp untuk berkomunikasi.

Kendati demikian, WhatsApp memiliki dilema tersendiri. Sebab, aplikasi perpesanan itu menggunakan sistem keamanan enkripsi dari ujung ke ujung (end-to-end encryption), di mana isi pesan hanya bisa dilihat oleh penerima dan pengirim.

Pihak ketiga, termasuk Facebook tidak bisa membaca isi pesan yang dikirim di WhatsApp.

"Sebagai platform perpesanan pribadi, kami tidak bisa mengakses konten percakapan pribadi pengguna bagaimanapun caranya, apabila kamu mengetahui bahwa seseorang atau organisasi yang terkena sanksi menggunakan WhatsApp, kami akan mengambi tindakan," jelas juru bicara Facebook dihimpun dari CNBC.

Beberapa laporan menyebut bahwa anggota Taliban masih menggunakan WhatsApp untuk berkomunikasi.

Untuk membantu meminimalisir konten terkait Taliban, WhatsApp akan menggunakan software AI untuk meninjau informasi yang tidak terenkripsi, seperti nama pengguna, foto profil, dan deskripsi grup.

Tidak hanya Facebook, TikTok pun menyatakan sikap yang sama. Media sosial berbasis video ini juga mengatakan pada CNBC bahwa mereka menetapkan Taliban sebagai organisasi teroris.

Meski pihak TikTok tidak mengeluarkan pernyataan yang rinci, perusahaan mengatakan akan menghapus konten yang mendukung, memuji, atau mengagungkan terkait Taliban.

Sikap Google dan Twitter

Platform jejarng sosial lain agaknya masih mengamati situasi. Alphabet, selaku induk perusahaan Google dan YouTube mengatakan bahwa pedoman komunitas mereka berlaku sama bagi semua orang.

Meskipun begitu, mereka tetap akan menerapkan kebijakan terhadap konten dan konteks penyajian.

Alphabet tetap akan mengizinkan penyediaan konten dan konteks pendidikan, dokumenter, ilmiah, dan artistik.

Sementara Twitter mengatakan akan memprioritaskan keamanan penggunanya, terutama yang berada di Afghanistan sambil tetap mewaspadai situasi.

"Situasi di Afghanistan berkembang pesat. Kami melihat orang-orang di negara ini menggunakan Twitter untuk mencari bantuan," kata juru bicara Twitter.

"Kami akan secara aktif terus menegakan aturan kami dan meninjau konten yang mungkin melanggar aturan Twitter, khususnya konten yang mendukung kekerasan, manipulasi platform, dan spam," imbuh Twitter.